Komunikasi politik adalah:




Komunikasi politik adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap proses politik, komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan, komunikasi politik dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Bagaimana tidak, aneka struktur politik seperti parlemen, kepresidenan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok kepentingan, dan warganegara biasa memperoleh informasi politik melalui komunikasi politik ini. Setiap struktur jadi tahu apa yang telah dan akan dilakukan berdasarkan informasi ini.


Komunikasi politik banyak menggunakan konsep-konsep dari ilmu komunikasi oleh sebab, ilmu komunikasi memang berkembang terlebih dahulu ketimbang komunikasi politik. Konsep-konsep seperti komunikator, pesan, media, komunikan, dan feedback sesungguhnya juga digunakan dalam komunikasi politik. Titik perbedaan utama adalah, komunikasi politik mengkhususkan diri dalam hal penyampaian informasi politik. Sebab itu, perlu terlebih dahulu memberikan definisi komunikasi politik yang digunakan di dalam tulisan ini. Potret Indonesia

R.M. Perloff mendefinisikan komunikasi politik sebagai proses dengan mana pemimpin, media, dan warganegara suatu bangsa bertukar dan menyerap makna pesan yang berhubungan dengan kebijakan publik. Dalam definisi ini, Perloff menjadi media sebagai pihak yang ikut melakukan komunikasi politik.

Definisi komunikasi politik adalah seluruh proses transmisi, pertukaran, dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini, keyakinan, dan lainnya) yang dilakukan oleh para partisipan dalam kerangka kegiatan-kegiatan politik yang terlembaga. Definisi ini menghendaki proses komunikasi politik yang dilakukan secara terlembaga. Sebab itu, komunikasi yang dilakukan di rumah antarteman atau antarsaudara tidak termasuk ke dalam fokus kajian. Meskipun demikian, konsep-konsep yang dikaji di dalam komunikasi politik sangat banyak, yang oleh sebab keterbatasan tempat, maka hanya akan diambil beberapa saja.

Skema Kerja Komunikasi Politik

Untuk mempermudah penjelasan, perlu kiranya diberikan sekadar skema proses komunikasi politik. Skema tersebut berguna untuk melakukan analisis atas proses komunikasi politik yang nanti akan dipelajari.


  • Komunikator = Partisipan yang menyampaikan informasi politik
  • Pesan Politik = Informasi, fakta, opini, keyakinan politik
  • Media = Wadah (medium) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (misalnya surat kabar, orasi, konperensi pers, televisi, internet,
  • Demonstrasi, polling, radio)
  • Komunikan = Partisipan yang diberikan informasi politik oleh komunikator
  • FeedBack = Tanggapan dari Komunikan atas informasi politik yang diberikan oleh komunikator


Secara operasional, komunikasi politik juga dapat dinyatakan sebagai proses penyampaian pesan-pesan politik dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu hingga memberikan efek (feedback).

Komunikator dan Komunikan

Komunikator dalam proses komunikasi politik dapat diposisikan oleh beragam pihak. Parlemen, partai politik, kelompok kepentingan, warganegara, presiden, menteri, pengamat politik, dan lain sebagainya. Mereka menjadi komunikator jika menjadi partisipan yang menyampaikan pesan-pesan politik, dan berubah menjadi komunikan jika mereka berposisi sebagai penerima.

Partisan Bias. Dalam komunikasi politik dikenal istilah partisan bias. Artinya, kecenderungan melebih-lebihkan posisi diri dan tindakan suatu kelompok ketimbang kelompok lain. Partisan bias cenderung berakibat pada ketidakakuratan fakta. Partisan bias tampak saat seorang anggota parlemen memposisikan partainya lebih bagus dan komitmen pada kesejahteraan rakyat ketimbang partai lain.

Demikian pula, komunikan dapat saja membelokkan pemahaman atas apa yang disampaikan komunikator. Misalnya, ketika pemerintahan SBY memberlakukan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan uang bantuan, sehingga dapat langsung dirasakan penerima. Ini ditanggapi berbeda oleh lawan-lawan politik dan warganegara yang kontra kebijakan tersebut, yang diwakili dengan pernyataan “pemerintah Cuma mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mengurangi angka kemiskinan” dan sejenisnya.

Media

Media menempati tempat strategis di dalam kajian komunikasi politik. Terlebih lagi, dunia kini tengah berada di peralihan antara Era Industrik menjadi Era Informasi. Informasi menjadi komoditi yang “laku” dipasarkan layaknya barang-barang seperti mobil, motor, sepeda, dan air conditioner. Dalam proses komunikasi pun, media memperoleh peranan yang semakin signifikan terutama setelah ditemukannya media-media baru akibat hasil perkembangan teknologi.

Contoh media adalah surat kabar (misalnya Kompas, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, Republika), televisi (Metro TV, RCTI, SCTV, TV One, Al Jazeerah, CNN), website (detik.com, kompas-online, tempo-interaktif), majalah (tempo, gatra), dan masih banyak lagi. Media-media tersebut memiliki karakteristik berupa keunggulan maupun kelemahannya, dan ini dapat dijelaskan melalui Teori Medium.

Media Bias. Media bias merupakan kecenderungan media untuk melakukan pemberitaan secara tidak berimbang. Jika partisan bias dilakukan oleh komunikator, maka media bias adalah kecenderungan media untuk tidak memberitakan fakta secara berimbang. Apa yang disampaikan media akan diserap oleh komunikan dan memunculkan FeedBack yang tidak akurat.

Medium Theory. Teori ini menjelaskan tentang alat yang digunakan sebagai media penyampai pesan punya pengaruh besar atas sifat dan isi komunikasi manusia. Marshall McLuhan lewat karya penelitiannya The Guttenberg Galaxy (1962) menceritakan proses perubahan dari komunikasi “oral” menjadi komunikasi tertulis (cetak). Revolusi alat cetak ini yang membuat ajaran Protestantisme menyebar cepat ke seluruh penjuru Eropa. Selain itu, ia juga menceritakan soal terjadinya peralihan dari komuniasi tercetak menjadi elektronik. Komunikasi lewat media elektronik ini membuat manusia mampu memahami dunia secara kolektif sehingga memunculkan apa yang disebutnya sebagai Global Village (Desa Global).

Efek dari peristiwa “baku-hantam” di parlemen tentu berbeda, jika dinikmati melalui media yang berbeda. Efek marah, kesal, atau lucu lebih mudah muncul jika peristiwa tersebut kita saksikan melalui televisi ketimbang surat kabar. McLuhan menyebut ini sebagai “hot” media dan “cold” media. Televisi dan media elektronik lagi bersifat “hot” media, sementara surat kabar bersifat “cold” media.

“Hot media” artinya komunikan harus menggali atau mampu memperoleh makna lain setelah menyaksikan peristiwa “baku-hantam” melalui televisi. Sementara itu, jika melalui surat kabar, pemaknaan terbatas pada kalimat-kalimat yang ditulis wartawan. Variasi makna pada surat kabar dapat diperoleh jika terdapat image (foto) dan itupun tidak terlalu banyak oleh sebab keterbatasan tempat.

Media Logic. Media Logic adalah konsep yang mengindikasikan pengaruh media untuk merepresentasikan peristiwa yang kita sebut sebagai “realitas.” Media sebab itu dapat mengkonstruksi peristiwa dan hasil rekaannya, setelah dipublikasi, dinyatakan sebagai kenyataan yang sesunggunya. Contoh dari ini adalah film Pemberontakan G30S/PKI yang diproduksi pemerintah Orde Baru. Film ini mengkonstruksi peristiwa “pemberontakan” yang didalangi oleh PKI. Film tersebut terus diputar setiap tanggal 30 September di Indonesia, setiap tahun. Akhirnya, masyarakat mengira bahwa itulah kejadian pemberontakan yang sebenarnya.

Media logic ini dipertentangkan dengan Party Logic, sebagai pola yang lebih “tua”. Party logic adalah konstruksi realitas oleh partai politik melalui penerbitan partai, seperti surat kabar, majalah, ataupun pamflet. Kini, party logic mendapat desakan yang kuat dari media, yang sebagian besar dimiliki oleh para pengusaha. Konstruksi realitas sebab itu semakin sulit untuk dikendalikan oleh partai politik.

Editorial. Editorial adalah pokok-pokok pikiran yang dibuat oleh dewan redaksi suatu media di dalam setiap edisi penerbitan. Surat kabar seperti Kompas memuatnya dalam kolom Tajuk Rencana dan Kartunnya. Editorial ini menjelaskan posisi media dalam isu-isu penting suatu penerbitan. Metro TV (pemberitaan elektronik) memuat Editorialnya setiap pagi hari, yang berisikan pokok-pokok masalah yang harus dicermati dan mengajak masyarakat berpikir akan masalah tersebut.

Pesan Politik

Pesan politik adalah isu-isu yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Diyakini bahwa komunikator politik selalu “merekayasa” pesan politik sebelum itu disampaikan kepada komunikan. Artinya, suatu pesan tidak pernah dibuat secara sembarang oleh sebab seluruh komunikator percaya selalu ada FeedBack dalam setiap komentar mereka. Penentuan isu ini berkait dengan konsep-konsep Manajemen Isu dan Kepemilikan Isu.

Manajemen Isu. Manajemen isu adalah istilah untuk menggambarkan langkah-langkah strategis komunikator politik guna mempengaruhi kebijakan publik seputar masalah-masalah yang tengah hangat dipertikaikan masyarakat. Dalam kasus kenaikan harga BBM misalnya, PDIP berusaha mengambil simpati warganegara dengan secara terang-terangan menolak kebijakan tersebut meskipun akhirnya kenaikan tersebut tidak bisa dicegah. Sebagai partai yang tidak terserap ke dalam pemerintahan, PDIP hadir dengan isu-isu yang “mengkritis” kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY.

Sebab itu, komunikator politik selalu membicarakan isu-isu “hangat” ketimbang isu-isu “dingin.” Misalnya, kini hampir tidak ada partai politik yang berbicara tentang “orang hilang” atau “lumpur Lapindo”. Isu-isu tersebut hampir dapat disebut sebagai isu “dingin” dan jika dibicarakan pada publik maka tidak akan meningkatkan popularitas partai di mata masyarakat.

Kepemilikan Isu. Kepemilikan isu terjadi ketika pemilih yang beragam menganggap bahwa partai atau komunikator politik tertentu lebih layak untuk membawakan isu itu ketimbang pihak lain. Hal ini diketahui secara baik oleh PKS, misalnya, bahwa isu-isu Islam sudah jenuh diserahkan masyarakat pada partai-partai Islam lain seperti PPP, PKB, PAN, atau PBB. Masyarakat kemungkinan sekarang menganggap kepemilikan isu Islam terletak pada PKS.

--------------------------------------------------------------------------
Referensi
  1. R.M. Perloff, Political Communication: Politics, Press, and Public in America(New Jersey and London : Lawrence Erlbaum, 1998)
  2. Dennis McQuail, Political Communication, dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encyclopedia of Government and Politics, Volume 1, (London: Routledge, 1992)
  3. Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California: Sage Publications, 2008)
tags:
pengertian komunikasi politik komunikator komunikan pesan politik agenda setting media logic videomalaise konsep media bias konsep partisan bias pengertian komunikasi politik komunikator komunikan pesan politik pengertian komunikasi politik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teknik komunikasi

Politik di arab